Senin, 08 Desember 2014

9 Tips Untuk Hidup Lebih Bahagia



9 Tips Untuk Hidup Lebih Bahagia
1. Jangan Takut dan Khawatir
Perasaan takut dan khawatir merupakan pikiran kita yang paling tidak produktif. Sebagian besar hal-hal yang kita khawatirkan atau takutkan tidak pernah terjadi. Jadi untuk apa kita khawatir dan takut?
2. Jangan Pernah Menyimpan Dendam
Dendam adalah hal terbesar dan akan menjadi beban terberat jika kita menyimpannya di dalam hati. Maukah anda membawanya sepanjang hidup? …. Saya rasa tidak. Jangan sia-siakan energi kita dengan menyimpan dendam, sudah pasti tidak ada gunanya. Gunakanlah energi kita tersebut untuk hal-hal yang positif.
3. Fokus Pada Satu Masalah
Jika kita memiliki beberapa masalah, selesaikanlah masalah kita satu per satu. Jangan terpikirkan untuk menyelesaikan masalah secara sekaligus karena justru akan membuat kita semakin stress.
4. Jangan Membawa Tidur Masalah Anda
Masalah adalah hal yang sangat buruk untuk kesehatan tidur kita. Pikiran bawah sadar kita adalah hal yang luar biasa yang dapat membuat kita gelisah dan tidur kita menjadi tidak nyenyak.
5. Jangan Mengambil Masalah Orang Lain Untuk Anda Selesaikan
Membantu orang lain yang sedang dalam masalah adalah hal yang mulia, tetapi jika kita mengambil porsi terbesar untuk menyelesaikan masalah orang lain tersebut justru itulah kesalahan terbesar. Biarkanlah orang tersebut yang menyelesaikan masalahnya sendiri dengan porsi terbesar.



6. Jangan Hidup di Masa Lalu
Mungkin terasa nyaman bagi kita mengingat hal-hal yang menyenangkan di masa lalu tetapi jangan anda terlena didalamnya. Konsentrasilah dengan apa yang terjadi saat ini, karena kita pun akan bisa merasakan banyak kebahagiaan di saat ini. Saya yakin kita akan mempunyai perasaan yang jauh lebih berbahagia jika kita merayakan apa yang terjadi saat ini dibanding dengan mengingat-ngingat kebahagiaan di masa lalu.
7. Jadilah Pendengar yang Baik
Mungkin sebagian besar orang termasuk saya :) susah untuk menjadi pendengar yang baik. Justru sebaliknya kita mengharapkan orang lain yang mendengarkan omongan kita, tetapi sebetulnya dengan belajar mendengarkan orang lain, kita akan mendapatkan banyak hal baru yang dapat sangat berguna bagi kebahagiaan hidup kita.
8. Jangan Biarkan Frustasi Mengatur dan Bahkan Mengacaukan Hidup Anda
Kasihanilah diri kita lebih dari apa pun, maksud saya adalah janganlah kita menyerah pada frustasi. Maju terus. Ambillah tindakan-tindakan positif dan lakukanlah dengan konsisten.
9. Bersyukurlah Selalu
Bersyukur dan berterimakasihlah atas semua yang kita dapatkan, bukan hanya hal yang positif saja tetapi juga hal yang negatif, karena saya percaya dibalik setiap hal yang negatif tersebut ada hal baik yang bisa kita pelajari.

PERKEMABANGAN MORAL DAN AGAMA ANAK



PERKEMABANGAN MORAL DAN AGAMA ANAK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Psikologi Anak
Dosen Pengampu :  Dra. Ani Hidayati, M.pd


Disusun oleh :
1.               Rajefi Ambar Lestari              (123911090)
2.               Siti Asniah                              (123911102)
3.               Zulia Nur Salamah                  (123911117)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral. Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.[1]
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidak acuhan atau pelanggaran terhadap standar kelompok sosial.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses perkembangan moral pada anak?
2.      Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak?
3.      Bagaimana tahap-tahap perkembangan agama pada anak?
4.      Apa saja sifat-sifat agama yang ada pada anak-anak?

BAB II
PEMBAHASAN
1.         Proses perkembangan moral pada anak
Menurut Robert J. Havighurst, moral yang bersumber dari adanya satu tata nilai adalah  a value is an obyect estate or affair which is desired ( tata nilai adalah satu objek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan).
Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai (value) yang diinginkan itu disebutnya sebagai moral.
Dengan demikian perkembangan moral seseorang itu berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak, di samping pengaruh kuat dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan dari anak.Contoh: adanya kontak dengan orang lain, pada gilirannya akan muncul pula rasa untuk saling menghargai, saling tolong menolong, dan lain-lain.
Bagi seorang anak pengembangan moral itu akan dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi), untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang diberlakukannya. Maka di sinilah sebenarnya letak peranan utama bagi orang-orang yang paling dekat atau akrab dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan dasar-dasar pola perkembangan moral anak berikutnya.[3]
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut[4]:
a.       Perkembangan langsung
 yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini, adalah keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.


b.      Identifikasi
yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
c.       Proses coba-coba (trial dan error)
yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus di kembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan di hentikannya.
Dalam membahas proses perkembangan moral ini, lawarence kohlerg (Ronald Duska dan Mariellen Whelan, dalam Dwija Atmaka, 1984; Abin Syamsuddin M.,1999) mengklasifikasikannnya kedalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut.
1)      Tingkat (level)
                                                        i.            Pra konvensional
Pada tahap ini, anak mengenal baik-buruk, benar-salah suatu perbuatn, dari sudut konsekuensi (dampak / akibat) menyenangkan (ganjaran) atau menyakiti (hukuman) secara fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.
                                                      ii.            Konvensional
Pada tingkat ini, anak memandang perbuatan itu baik / benar, atau berharga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan /  persetujuan keluarga, kelompok, ataubangsa. Di sini berkembang sikap konformitas,  loyalitas atau penyesuaian diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan sosial masyarakat.
                                                    iii.            Pasca konvensional
Pada tingkat ini ada usaha individu untuk mengartikan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung, atau orang yang memegang / menganut prinsip-prinsip moral tersebut. Juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.

2)      Tahap (stages)
                                                        i.            orientasi hukuman dan kepatuhan
anak menilai baik-buruk, atau benar-salah dari sudut dampak (hukuman atau ganjaran) yang diterimanya dari yang mempunyai otoritas (yang membuat aturan), baik orang tua atau orang dewasa lainnya. Disini anak mematuhi aturan orang tua agar terhindar dari hukuman.
                                                      ii.            orientasi relativis-instrumen
perbuatan baik atau benar adalah yang berfungsi sebagai instrumen (alat) untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri. Dalam hal ini hubungan dengan orang lain di pandang sebagai hubungan orang di pasar (hubungan jual beli). Dalam melakukan atau memberikan sesuatu kepada orang lain, bukan karena rasa terima kasih atau sebagai curahan kasih sayang,tetapi bersifat pamrih (keinginan untuk menadapatkan balasan) : “ jika kau memberiku maka aku akan memberimu”
                                                    iii.            orientasi kesepakatan antar-pribadi, atau orientasi anak manis (good boy / girl)
anak memandang suatu perbuatan itu baik,atau berharga baginya apabila dapat menyenagkan, membantu, atau di setujui / diterima  orang lain.
                                                    iv.            orinetasi hukum dan ketertiban
perilaku yang baik adalah melaksanakan atau menunaikan tugas / kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
                                                      v.            orientasi kontrol sosial legalitas
perbuatan atau tindakan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak-hak individual yang umum, dan dari segi aturan atau patokan yang telah diuji secara kritis, serta disepakati oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, perbuatan yang baik itu adalah yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 
                                                    vi.            orientasi prinsip etika universal
kebenaran ditentukan oleh keputusan kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang logis, universalitas, dan konsistensi. Prinsip-prinsip etika universalitas ini bersifat abstrak, seperti keadilan, kesamaan hak asasi manusia, dan penghormatan kepada martabat manusia.

2.      Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari otang tuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya sebagai berikut:
a)      Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dan melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b)      Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedullikan noma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimilki oleh orang tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis),dan konsisten.
c)      Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agam kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.


d)     Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak, agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggug jawab atau taat beragama, tetapi orang tua sendiri menampilkan perilaku yang sebaiknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan (ketidak ajegan) orang tua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.[5]

3.        Tahapan perkembangan agama pada anak
Menurut penelitian ernestharms perkembagan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya the development of religious on children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui 3 tingkatan yaitu
a.          The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 sampai 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
b.         The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudak mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat menghasilkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
c.         The individual stage (tingkat individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas 3 golongan, yaitu:
                                                i.     Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
                                          ii.         Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan)
                                     iii.            Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu perkembangan usia dan faktor eksternal berupa pengaruh luar yang dialaminya. [6]

4.        Sifat-sifat agama yang ada pada anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai  dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.
Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat,  mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa  yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orangtua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama . orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan  yang menjadi  milik mereka yang mereka pelajari dari para orangtua maupun guru mereka. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas :
a.      Unreflective (Tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat  seperti manusia. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan  mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima  dari orang lain.

b.      Epigosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya.
c.       Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengena ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan . melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada dalam tempat yang gelap.


d.        Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
e.         Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak
f.         Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.


BAB III
A.    KESIMPULAN
Moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral. Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
a.       Perkembangan langsung
b.      Identifikasi
c.       Proses coba-coba (trial dan eror)

Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak:
a.       Konsisten dalam mendidik anak
b.      Sikap orang tua dalam keluarga
c.       Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
d.      Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma

Tahapan perkembangan agama pada anak, yaitu:
a.        The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
b.      The realistic stage (tingkat kenyataan)
c.       The individual stage (tingkat individu)

Sifat-sifat agama yang ada pada anak, yaitu:
a.       Unreflective (Tidak mendalam)
b.      Epigosentris
c.       Anthromorphis
d.      Verbalis dan Ritualis
e.       Imitatif
f.       Rasa heran

B.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat, tentu saja tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan dari makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari kawan-kawan semua sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfat bagi kita semua. Amin


DAFTAR PUSTAKA
 Ahmadi Abu, Munawar Sholeh,Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT Rineka Cipta,2005

Jalaluddin, Psikologi Anak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995
 Yusuf  LN Syamsu, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak dan Remaja, Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan_02.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.00

http://crhiry.blogspot.com/2013/09/contoh-makalah-perkembangan-moral-pada.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.15



[1] http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan_02.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.00

[2] http://crhiry.blogspot.com/2013/09/contoh-makalah-perkembangan-moral-pada.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.15

[3] Abu Ahmadi, Munawar Sholeh,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2005),hlm 104
[4] Syamsu Yusuf  LN, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak dan Remaja, (Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007) hlm134-135

[5] Syamsu Yusuf  LN, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak dan Remaja, (Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007) hlm133-134
[6]Jalaluddin, Psikologi Anak,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995) hal.66-67