PERKEMABANGAN MORAL DAN AGAMA ANAK
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Psikologi Anak
Dosen
Pengampu : Dra. Ani Hidayati, M.pd

Disusun
oleh :
1.
Rajefi
Ambar Lestari (123911090)
2.
Siti Asniah (123911102)
3.
Zulia Nur Salamah (123911117)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral. Nilai-nilai moral itu seperti seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral
keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh,
harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau
tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.[1]
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.[1]
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak
bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap
tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan
wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku
yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidak acuhan atau pelanggaran
terhadap standar kelompok sosial.[2]
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses perkembangan moral pada anak?
2.
Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak?
3. Bagaimana tahap-tahap perkembangan agama
pada anak?
4. Apa saja sifat-sifat agama yang ada pada
anak-anak?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Proses perkembangan moral pada anak
Menurut Robert J. Havighurst, moral yang bersumber dari
adanya satu tata nilai adalah a value is an obyect estate or affair which
is desired ( tata nilai adalah satu objek rohani atas suatu keadaan yang
diinginkan).
Maka kondisi atau potensi internal
kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan
nilai-nilai (value) yang diinginkan
itu disebutnya sebagai moral.
Dengan demikian perkembangan moral seseorang
itu berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak, di samping pengaruh kuat
dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan dari
anak.Contoh: adanya kontak dengan orang lain, pada gilirannya akan muncul pula
rasa untuk saling menghargai, saling tolong menolong, dan lain-lain.
Bagi seorang anak pengembangan moral itu
akan dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu
fisiologi), untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan
keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang diberlakukannya. Maka di sinilah
sebenarnya letak peranan utama bagi orang-orang yang paling dekat atau akrab
dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan dasar-dasar pola perkembangan moral
anak berikutnya.[3]
Perkembangan moral anak dapat
berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut[4]:
a. Perkembangan langsung
yaitu melalui penanaman pengertian tentang
tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru
atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan
moral ini, adalah keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya
dalam melakukan nilai-nilai moral.
b. Identifikasi
yaitu
dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral
seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kiai, artis atau
orang dewasa lainnya).
c. Proses coba-coba (trial dan error)
yaitu
dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku
yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus di kembangkan, sementara
tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan di hentikannya.
Dalam
membahas proses perkembangan moral ini, lawarence kohlerg (Ronald Duska dan
Mariellen Whelan, dalam Dwija Atmaka, 1984; Abin Syamsuddin M.,1999)
mengklasifikasikannnya kedalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut.
1)
Tingkat
(level)
i.
Pra
konvensional
Pada tahap ini,
anak mengenal baik-buruk, benar-salah suatu perbuatn, dari sudut konsekuensi
(dampak / akibat) menyenangkan (ganjaran) atau menyakiti (hukuman) secara fisik,
atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.
ii.
Konvensional
Pada tingkat
ini, anak memandang perbuatan itu baik / benar, atau berharga bagi dirinya
apabila dapat memenuhi harapan /
persetujuan keluarga, kelompok, ataubangsa. Di sini berkembang sikap
konformitas, loyalitas atau penyesuaian
diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan sosial masyarakat.
iii.
Pasca
konvensional
Pada tingkat ini
ada usaha individu untuk mengartikan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok,
pendukung, atau orang yang memegang / menganut prinsip-prinsip moral tersebut.
Juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau
tidak.
2) Tahap (stages)
i.
orientasi
hukuman dan kepatuhan
anak menilai
baik-buruk, atau benar-salah dari sudut dampak (hukuman atau ganjaran) yang
diterimanya dari yang mempunyai otoritas (yang membuat aturan), baik orang tua
atau orang dewasa lainnya. Disini anak mematuhi aturan orang tua agar terhindar
dari hukuman.
ii.
orientasi
relativis-instrumen
perbuatan baik
atau benar adalah yang berfungsi sebagai instrumen (alat) untuk memenuhi
kebutuhan atau kepuasan diri. Dalam hal ini hubungan dengan orang lain di
pandang sebagai hubungan orang di pasar (hubungan jual beli). Dalam melakukan
atau memberikan sesuatu kepada orang lain, bukan karena rasa terima kasih atau
sebagai curahan kasih sayang,tetapi bersifat pamrih (keinginan untuk
menadapatkan balasan) : “ jika kau memberiku maka aku akan memberimu”
iii.
orientasi
kesepakatan antar-pribadi, atau orientasi anak manis (good boy / girl)
anak memandang
suatu perbuatan itu baik,atau berharga baginya apabila dapat menyenagkan,
membantu, atau di setujui / diterima
orang lain.
iv.
orinetasi
hukum dan ketertiban
perilaku yang
baik adalah melaksanakan atau menunaikan tugas / kewajiban sendiri, menghormati
otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
v.
orientasi
kontrol sosial legalitas
perbuatan atau
tindakan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak-hak individual yang
umum, dan dari segi aturan atau patokan yang telah diuji secara kritis, serta
disepakati oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, perbuatan yang baik itu
adalah yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
vi.
orientasi
prinsip etika universal
kebenaran
ditentukan oleh keputusan kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang
logis, universalitas, dan konsistensi. Prinsip-prinsip etika universalitas ini
bersifat abstrak, seperti keadilan, kesamaan hak asasi manusia, dan
penghormatan kepada martabat manusia.
2.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak
Perkembangan moral seorang anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari
lingkungannya, terutama dari otang tuanya. Dia belajar untuk mengenal
nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang
tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak,
diantaranya sebagai berikut:
a) Konsisten dalam mendidik anak
Ayah
dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dan melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
kembali pada waktu lain.
b) Sikap orang tua dalam keluarga
Secara
tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses
peniruan (imitasi). Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan
sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap
masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang
mempedullikan noma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimilki oleh orang tua
adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis),dan konsisten.
c) Penghayatan dan pengamalan agama yang
dianut
Orang
tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim religius (agamis),
dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agam kepada
anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
d) Sikap konsisten orang tua dalam
menerapkan norma
Orang
tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka
mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur.
Apabila orang tua mengajarkan kepada anak, agar berperilaku jujur, bertutur
kata yang sopan, bertanggug jawab atau taat beragama, tetapi orang tua sendiri
menampilkan perilaku yang sebaiknya, maka anak akan mengalami konflik pada
dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan (ketidak ajegan) orang tua
itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya,
bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.[5]
3.
Tahapan perkembangan agama pada anak
Menurut penelitian ernestharms
perkembagan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam
bukunya the development of religious on children ia mengatakan bahwa perkembangan
agama pada anak-anak itu melalui 3 tingkatan yaitu
a.
The
Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan
ini dimulai pada anak yang berusia 3 sampai 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan
konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
b.
The
realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga sampai ke usia (masa usia)
adolesense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudak mencerminkan konsep-konsep
yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga
mereka dapat menghasilkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka
pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka
lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak
(amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
c.
The
individual stage (tingkat individu)
Pada
tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini
terbagi atas 3 golongan, yaitu:
i. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh luar.
ii.
Konsep
ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal (perorangan)
iii.
Konsep
ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu perkembangan usia dan faktor eksternal
berupa pengaruh luar yang dialaminya. [6]
4.
Sifat-sifat agama yang ada pada anak
Memahami konsep keagamaan pada
anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat
agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas
concept on authority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya
autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh
faktor dari luar diri mereka.
Hal tersebut dapat dimengerti
karena anak sejak usia muda telah melihat,
mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat
dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan
dan diajarkan orang dewasa dan orangtua mereka tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kemaslahatan agama . orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.
Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi
milik mereka yang mereka pelajari dari para orangtua maupun guru mereka.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi
atas :
a.
Unreflective
(Tidak mendalam)
Dalam
penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka
menganggap Tuhan itu bersifat seperti
manusia. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup
sekedarnya saja dan mereka sudah merasa
puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian
pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran untuk
menimbang pendapat yang mereka terima
dari orang lain.
b.
Epigosentris
Anak
memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya
dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran
akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa
egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya.
c.
Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengena
ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan
dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak
jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan . melalui konsep yang terbentuk
dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat
orang itu berada dalam tempat yang gelap.
d.
Verbalis
dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami
ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara
verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan
selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman
menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
e.
Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat
kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada
dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan
karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun
pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal
anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif
dalam pendidikan keagamaan pada anak
f.
Rasa
heran
Rasa heran dan kagum merupakan
tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum
yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis
dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini
merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk
mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan
melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
BAB III
A.
KESIMPULAN
Moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan
prinsip moral. Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada
orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan. Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Perkembangan
moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
a. Perkembangan langsung
b. Identifikasi
c. Proses coba-coba (trial dan eror)
Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak:
a.
Konsisten
dalam mendidik anak
b.
Sikap orang tua dalam keluarga
c.
Penghayatan
dan pengamalan agama yang dianut
d.
Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Tahapan perkembangan agama pada anak, yaitu:
a.
The
Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
b. The realistic stage (tingkat kenyataan)
c. The individual stage (tingkat individu)
Sifat-sifat agama yang ada pada anak, yaitu:
a. Unreflective
(Tidak mendalam)
b.
Epigosentris
c.
Anthromorphis
d.
Verbalis dan Ritualis
e. Imitatif
f.
Rasa heran
B.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat, tentu saja tidak luput dari
kesalahan dan kekeliruan dari makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun dari kawan-kawan semua sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
bermanfat bagi kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu, Munawar Sholeh,Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT
Rineka Cipta,2005
Jalaluddin, Psikologi Anak,
Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1995
Yusuf LN
Syamsu, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak dan
Remaja, Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan_02.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.00
http://crhiry.blogspot.com/2013/09/contoh-makalah-perkembangan-moral-pada.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.15
[1] http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan_02.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.00
[2] http://crhiry.blogspot.com/2013/09/contoh-makalah-perkembangan-moral-pada.html, di unduh pada hari senin 10 Maret 2014 pukul 08.15
[4] Syamsu Yusuf LN, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak dan
Remaja, (Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007) hlm134-135
[5] Syamsu
Yusuf LN, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Anak
dan Remaja, (Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007) hlm133-134
0 komentar:
Posting Komentar